Jumat, 11 Desember 2009

Pendidikan Anti Kekerasan: Perspektif Teologis-Padeigogi


Kekerasan dalam Alkitab

Harus diakui bahwa di dalam Alkitab terdapat informasi tentang kekerasan seperti pembunuhan, peperangan, dan martir, permusuhan/pembalasan dendam, pemerkosaan, perkataan kasar, dan ketidakadilan sosial. Namun, Alkitab juga menginformasikan tentang penentangan terhadap kekerasan yang terjadi di antara manusia. Perama, TUHAN memusnahkan manusia yang ada di bumi dengan air bah karena kehidupan mereka penuh dengan kekerasan (Kej. 6:11-13).
Kedua, hukum ke 6 dari sepuluh hukum, ditegaskan bahwa Allah melarang keras tindakan pembunuhan dalam bentuk apapun yang terjadi di antara manusia (menghilangkan nyawa manusia dan pembunuhan serta perusakan fisik dan karakter seseorang). Ketiga, dalam ayat-ayat yang lain disebutkan bahwa Tuhan murka terhadap orang-orang yang mencintai segala bentuk kekerasan (II Sam. 22:3, 49; Mzr. 11:5; 72:14; 140:12). Ia akan mengacaukan dan membingunkan mereka (Mzr. 55:9), dan hidup mereka akan diburu malapetaka (Mzr. 140:12), bahkan Allah akan menjadi Hakim untuk menimpakan kekerasan kepada orang yang melakukan kekerasan (Mzr. 7:17).

Kekerasan dalam bentuk apapun (kekerasan fisik, emosi, seksual, dan sosial-neglected) adalah tindakan penentangan terhadap keberadaan manusia sebagai “gambar dan rupa Allah” (Kej. 1:26-27). Jika kekerasan terjadi pada seseorang yang mengakibatkan kerusakan/gangguan fisik dan psikisnya, maka martabatnya sebagai gambar dan rupa Allah dirusakkan. Orangtua atau guru yang melakukan kekerasan terhadap anak adalah orangtua/guru yang tidak menghargai dirinya dan anaknya sebagai ciptaan Allah yang mulia (segambar dan serupa dengan Allah).


Dalam Perjanjian Baru, Yesus tidak hanya menekankan bahwa seseorang yang melakukan kekerasan (pembunuhan) adalah dosa, tetapi Yesus juga menyalahkan orang yang menyimpan amarah, rasa benci, atau dendamnya dalam hati. Ini berarti bahwa kekerasan bukan hanya terbatas pada perbuatan, tetapi juga sikap hati. Mat. 5:21-22, “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.”

Yesus juga memberi perintah agung kepada umat-Nya: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. Mat. 22:39). “Sesama manusia” yang dimaksud dalam ayat ini adalah semua unsur yang terlibat dalam pendidikan, yaitu guru, orangtua, anak didik, dan masyarakat. Jika seseorang melakukan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap orang lain, maka kemungkinan orang tersebut tidak memiliki rasa penghormatan terhadap diri sendiri. Harkat dan martabat anak sering direndahkan karena orang dewasa menganggap bahwa sesama manusia adalah sesama orang dewasa.


Pendidikan Tanpa Kekerasan Berdasarkan Alkitab

Perjanjian Lama

Hukum ke 5 dari 10 hukum disebutkan, “Hormatilah ayah ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Kel. 20:12). Keberadaan ayah dan ibu merupakan wakil Allah di bumi, sehingga penentuan umur panjang, kebahagiaan, dan keindahan di dalam Tuhan yang dimiliki seorang anak bergantung pada penghormatan dan ketaatan anak-anak terhadap orangtuanya. Pada sisi lain, anak akan memahami keberadaan Allah di dalam kehidupan mereka melalui pengajaran dan perlakuan orangtua di rumah dan guru di sekolah. Jika orangtuanya atau gurunya kasar, maka anak akan berpikir, mungkin Tuhan Allah yang diajarkan oleh orangtua dan guru adalah juga kasar seperti yang ia rasakan dari orangtuanya atau gurunya.

Dalam Perjanjian Lama, wadah pendidikan bagi anak di kalangan orang Yahudi adalah keluarga, pengajarnya adalah orangtua, dan isi pengajarannya adalah kekayaan iman orang Yahudi. Ul. 6: 4-9, Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.”
1. Orangtua dan guru yang mengasihi Allah harus menunjukkan kasih kepada anak-anak sebagai cara untuk mengajar anak mengasihi Allah.
2. Pendidikan dilaksanakan bukan hanya pada satu sudut kehidupan dan bukan hanya sambilan saja, tetapi menjadi bagian inti dari kegiatan sehari-hari.
3. Pengenalan akan Allah dan pembentukan karakter yang dialami anak-anak dimulai dari keluarga dengan cara menyampaikan kepada anak-anak pengalaman orangtua bersama Tuhan. Lembaga-lembaga lain dan pendidik-pendidik yang lain hanyalah pendukung untuk melengkapi apa yang tidak diperoleh anak dari keluarga.

Dalam dunia pendidikan, orang bijak menyebutkan, “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya” (Amsal 29:15; bdg. Amsal 22:15; 23:13-14). Dalam budaya tertentu, penggunaan rotan dalam mendidik dan mendisiplin anak bukanlah hal yang menjadi masalah, tetapi “tongkat” yang dimaksud di sini adalah:
1. Tindakan yang tegas yang dilakukan orangtua terhadap anak untuk menyelamatkan anak dari resiko yang buruk, kematian, dan perbuatan yang memalukan dirinya serta orangtuanya.
2. Disiplin untuk membebaskan anak dari kebodohan, menjaganya dari perlakuan yang merusak diri, menanamkan hikmat, dan menumbuhkan relasi yang baik dan damai dalam keluarga.
3. Kebodohan adalah dosa, sehingga diperlukan pengoreksian yang diberikan kepada anak untuk menolong mereka keluar dari kebodohan.
4. Jika orangtua melakukan tindakan ini, maka harus didasarkan pada kasih kepada anak.

Perjanjian Baru

Perhatian Yesus
Yesus bukan hanya Juruselamat, tetapi Ia juga seorang Guru, karena beberapa kali Ia dipanggil Rabi (Mark. 12:13-14), dan selama hidup-Nya, Ia selalu memberikan pengajaran kepada para murid-Nya dan para pengikut-Nya (Mat. 9:35; 11:1).
Dalam pelayanan yang dilaksanakan oleh Yesus, Yesus juga memberikan perhatian kepada kepada pendidikan anak. Pertama, identifikasi Yesus bersama anak-anak (Mark. 9:36-37). Yesus memihak kepada anak-anak sehingga Ia berkata bahwa orang yang memperhatikan anak-anak sebenarnya mengindahkan Yesus. Kedua, Yesus marah kepada murid-murid yang melarang orangtua yang membawa anak-anaknya kepada Yesus (Mark. 10:13-14), bahkan Yesus memperingati dengan keras bahwa orang-orang yang menyebabkan anak-anak berdosa dan sesat (termasuk di dalamnya anak-anak gagal mempercayai Allah karena memberikan sikap dan ajaran yang salah terhadap anak) sebaiknya orang tersebut mati dari pada hidup. Pengalaman trauma, kecelakaan, dan kekerasan terhadap anak yang terjadi kapan saja ketika anak masih kecil dapat menyebabkan anak takut dan tidak percaya kepada Pencipta dan Juruselamatnya (Mark. 9:42).

Pengajaran Rasul Paulus
Dalam Kolose 3:21, Paulus menulis, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Ef. 6:4, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Ini menunjukkan bahwa dalam Perjanjian Baru,
1. Keluarga menjadi pusat pendidikan bagi anak, dan kelihatannya, tanggung jawab pendidikan terhadap anak difokuskan kepada orangtua.
2. Allah telah memberikan kekuasaan kepada orangtua dan guru untuk mendidik anak, tetapi jangan salah menggunakannya, karena anak adalah bagian dari pribadi orangtua dan guru yang harus dituntun dengan kasih dan kesabaran.
3. Segala bentuk didikan yang akan membangkitkan amarah dan kekecewaan anak adalah salah. Jangan tidak sabar terhadap anak-anak, jangan menggunakan kekerasan-kekerasan yang tidak beralasan, dan jangan menggunakan peraturan-peraturan yang kaku terhadap anak yang membuat anak tersiksa.
4. Orangtua dan guru tidak menunjukkan sifat pilih kasih terhadap anak-anak.
5. Kewajiban orangtua dan guru tidak hanya membesarkan mereka dengan cara menyiapkan makanan dan minuman bagi mereka, tetapi juga membentuk karakter anak. Orangtua tidak hanya membesarkan mereka menjadi orang dewasa dan guru tidak hanya mendidik anak menjadi orang yang intelektualistis, tetapi juga membentuk dengan ajaran dan nasehat Tuhan agar anak memiliki kepribadian yang baik.
6. Jangan menggunakan kekuasaan sebagai orangtua dan guru untuk menunjukkan kekuatan dan kekerasan kepada anak.
7. Emosi yang tidak terkontrol dan ketidakhati-hatian orangtua dan guru sering menjadi halangan bagi anak-anak dan menjadi tembok pemisah bagi anak-anak untuk berkomunikasi.


Implementasi Masa Kini:
Pendidikan yang Memberdayakan dan Membebaskan

Pendidikan adalah pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh pendidik dan orangtua untuk menemukan dan memberdayakan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Untuk itu, upaya-upaya yang perlu dilaksanakan adalah:
1. Pemulihan para pendidik (orangtua dan guru). Hal ini diperlukan karena orangtua atau guru yang melakukan kekerasan terhadap anak, kemungkinan besar ia pun mengalami kekerasan pada masa kanak-kanaknya.
2. Jangan mendisiplinkan didik pada saat sedang marah, sibuk, stress, tegang, atau bermasalah dengan hal-hal yang lain, karena dapat berakibat fatal bagi anak.
3. Orangtua dan guru harus menyadari bahwa mereka dipanggil oleh untuk melayani melalui perhatian, pengajaran dan keteladanan yang diberikan kepada anak.
4. Kerja sama dengan organisasi-organisasi non-gereja untuk membekali guru dan orangtua agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.
5. Penginjilan dan pembimbingan rohani yang dilaksanakan oleh sekolah kepada murid dan guru.
6. Pelaksanaan peraturan.
a. Peraturan yang dimiliki oleh sekolah harus dijelaskan kepada orangtua dan siswa ketika siswa baru memasuki sekolah.
b. Disiplin dilaksanakan secara konsisten berdasarkan keteladanan dan peraturan yang jelas.
c. Sanksi diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran, tingkat perkembangan anak secara psikologis, daya tahan fisik anak, kesanggupan anak untuk menerimanya, dan tujuan dari pemberian sanksi.
d. Memperhatikan penampilan/cara berpakaian dan model pakaian yang digunaka sebagai seragam.
7. Proses belajar mengajar (Assegaf 2004, 101-104).
a. Menumbuhkan niat belajar anak dengan cara memotivasi dan memberikan semangat kepada anak.
b. Menjalin rasa simpati/empati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian social, toleransi, dan saling menghargai antara guru dan murid serta antara murid dengan murid.
c. Menciptakan suasana riang, tanpa ada tekanan.
d. Memberikan motivasi untuk bangkit apabila anak mengalami kegagalan.
e. Mengembangkan rasa saling memiliki untuk membentuk kebersamaan, kesatuan, kesepakatan, dan dukungan belajar.
f. Menujukkan teladan yang baik.


Kepustakaan

Assegaf, Abd.Rahman. Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep.
Yogyakarta: Tirta Wacana Yogya, 2004.
Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen dari
Plato sampai Ig. Loyola. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Collins, Gary R. Christian Counseling: A Comprehensive Guide. Dallas: Word Publishing, 1988.
Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Nuansa, 2006.
Lester, Andrew D. Pelayanan Pastoral bersama Anak-Anak dalam Krisis. Malang: SAAT, 2003.
Matthew Henry’s Commentary of the Whole Bible, volume 6: Acts to Revelation. Peabody,
Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1991.
McDowell, Josh & Bob Hosteller. Josh McDowell’s Handbook On Counseling Youth: A
Comprehensive Guide for Equipping Youth Workers, Pastors, Teachers, Parents. Dallas: Word Publishing, 1996.
Parrott III, Les. Helping Struggling Adolescent. Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing
House, 1993.
REC FOCUS, “Commission On Human Relation: Sexual Abuse.” Grand Rapids: Reformed
Ecumenical Council, February 2004, Volume 4, Number 1.

2 komentar:

  1. dari 7 Proses belajar mengajar dari poin yg sdh dijelaskan di atas, saya masih ada menemukan kl pengajar blm dpt untk melakukan hal tersebut. jd bisa nggk bpk buat penelitian ke mahasiswa untuk mendapatkan riset ini.. plizz,,

    BalasHapus
  2. Terima kasih, sudah membaca tulisan saya. saya akan buat penelitian mengenai konsep tersebut.

    BalasHapus