Jumat, 11 Desember 2009

Kajian Analisis Konsep Pemikiran John Dewey


John Dewey dikenal oleh karena konsep pemikirannya tentang pragmatisme, relativisme, dan active learner. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang riwayat hidup John Dewey sebagai dasar pemunculan konsep pemikirannya (yang tertuang dalam konsep filsafat, agama, dan pendidikan), sumbangsihnya dalam dunia pendidikan, dan kritik terhadap konsep pemikirannya berdasarkan perspektif Kristen.

I. Riwayat Hidup John Dewey
John Dewey lahir pada tanggal 20 Oktober 1859 di Burlington, negara bagian Vermont, Amerika Serikat. Ia dibesarkan di kota yang sama dari keluarga yang saleh dengan latar belakang ekonomi kelas menengah. Ibunya adalah orang Kristen yang berlatarbelakang gereja evangelikal sehingga memiliki pengawasan yang cukup ketat terhadap kehidupan rohaninya. Namun Dewey tidak senang dengan cara demikian dan menimbulkan kekecewaan baginya, karena baginya, perasaan agama tidak sehat jika dinilai dan dijelaskan secara seksama sejauh persaan itu ada, baik, dan sedang bertumbuh.
Pendidikan yang dilajalaninya hingga SMA, berporos pada penghafalan. Cara belajar yang demikian membosankannya, tetapi ia termasuk siswa yang rajin dan pintar, maka ia dapat menyelesaikan pendidikan dasar pada usia dua belas tahun. Pendidikan menengah yang dijalaninya lebih berorientasi pada studi klasik (bahasa, sastra, dan matematika). Sesudah tamat SMA, Dewey melanjutkan pendidikan di Universitas Vermont dan menyelesaikan pendidikannya di bidang filsafat dengan nilai “pujian.” Ia juga menyelesaikan pendidikan di Universitas Hopkins di kota Baltimore, negara bagian Maryland, dengan gelar Ph. D. di bidang filsafat pada tahun 1884. Setelah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, Dewey melibatkan diri dalam dalam dunia pendidikan. Ia pernah menjadi guru SMA di Oil City, negara bagian Pennsylvania dan menjadi dosen di Michigan, Minnesota, Chicago, dan Universitas Columbia di New York.
Di Unviersitas Cichago, Dewey menjabat sebagai Dekan Fakultas Filsafat pada tahun 1894. Pada saat itu, Departemen Ilmu Jiwa dan Departemen Pedagogi adalah bagian dari Fakultas Filsafat. Di sinilah Dewey mengembangkan konsep pedagogi yang dimilikinya melalui sebuah laboratorium yang setaraf dengan SD, SMP, SMA, dan sekolah kejuruan. Hasilnya sangat baik serta dipuji karena menjadi wadah pendidikan yang paling kreatif dalam dunia pendidikan di Amerika, bahkan di dunia pada saat itu, walaupun Dewey sendiri bukanlah seorang yang berlatar belakang kuliah dalam bidang pendidikan.
Rumah tangganya dinilai sebagai rumah tangga yang baik. Isteri pertamanya bernama Alice Chapman. Alice adalah mantan mahasiswanya yang kemudian menjadi pimpinan dari sekolah laboratorium di Universitas Chicago. Mereka memiliki enam orang anak, tetapi dua orang puteranya meninggal ketika mereka masih muda. Pada tahun 1905, mereka pindah ke Universitas Columbia dan Alice meniggal pada tahun 1927. Pada tahun 1946, Dewey menikah lagi dengan seorang janda bernama Roberta Grant, yang usianya tiga puluh tahun lebih muda. Kehidupan keluarga yang dijalaninya, baik dengan isteri pertama maupun isteri kedua, semuanya bahagia. Rumah tangganya dijadikan sebagai laboratorium untuk pengujian kebenaran gagasannya. Dewey meninggal pada tanggal 1 Juli 1952 di New York dengan meninggalkan kurang lebih 700 artikel dan 42 buah buku dalam dalam berbagai bidang (filsafat, pendidikan, seni, sains, politik, dan pembaharuan sosial).
Berdasarkan pengalaman pola asuh yang dialami oleh John Dewey dari orangtuanya, pengalamannya berumah tangga sebagai seorang suami dan ayah, pengalamannya dalam menjalani pendidikan, penelaahannya terhadap filsafat, ilmu jiwa, dan tulisan dari para pendidik seperti Pestalozzi, Froebel, dan Herbart, pengamatannya terhadap pengalaman para guru SMP/SMA, dan pengawasnya terhadap laboratorium sekolah yang didirikannya, telah melahirkan konsep pemikirannya tentang filsafat, agama, serta teori dan praktek pedagogi yang dimilikinya.

II. Konsep Pemikiran John Dewey

Konsep tentang Filfasat
Menyikapi permasalahan hidup dan kerumitan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya secara pribadi dan masalah yang terjadi dalam masyarakat, Dewey tertarik pada filsafat pragmatisme seperti yang telah diajarkan oleh Charles Sanders Pierce (1839-1914) dan yang dipopulerkan oleh William James (1842-1910). Konsep prangmatisme menekankan bahwa, “… makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan,” dengan mengacu pada instrumentalis (hidup tidak memiliki tujuan akhir, tetapi tujuan antara dan sementara) dan eksperimentalis (perlunya metode eksperimen dan pengalaman dalam menentukan kebenaran). Untuk itu, setiap individu bertanggung jawab untuk terlibat dalam tugas yang berkesinambungan dalam membangun kembali dunianya. Pemahaman tersebut tergambar jelas dalam konsep yang dimiliki oleh Dewey, “Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara kritis-aktif … Pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman.”
Dengan demikian, pengalaman dan metode menjadi penekanan Dewey sebagai dua unsur yang berperan penting dalam pembentukan manusia untuk menemukan kebenaran dan mengalami pertumbuhan. Pengalaman menjadi unsur tertinggi dalam kehidupan manusia untuk menentukan kebenaran dan metode digunakan untuk mencapai kebenaran yang terdapat dalam pengalaman. Pengalaman itu sendiri adalah hal yang tidak mutlak dan dapat berubah, maka kebenaran pun tidak mutlak dan dapat berubah. Inilah yang menyebabkan hidup bukanlah tujuan akhir, tetapi tujuan sementara, karena pengalaman yang dialami seseorang dalam hidupnya adalah tidak tetap, tidak mutlak, dan dapat berubah.

Konsep tentang Agama
Menurut Dewey, agama adalah pengalaman emosi yang dialami seseorang dan berhubungan dengan rasa nyaman serta bebas dari kekawatiran yang tidak mungkin terucapkan dalam kata-kata secara lisan. Pengalaman spiritualitas dan kesusilaan seseorang didapat bukan dari pembentukan secara keagamaan, tetapi sebagai hasil perkembangan seluruh bakatnya, dan jati dirinya hanya dapat direalisasikan dalam masyarakat yang demokratis sehingga tidak diperlukan pelayanan gereja.
Bagi Dewey, kerajaan Allah adalah kenyataan adikodrati yang berfaedah sebagai simbol tentang hubungan yang tertinggi yang pengembangannya dilaksanakan melalui pendidikan. Untuk itu, guru adalah orang yang memiliki peran paling penting, karena ia dianggap sebagai nabi yang paling dipercaya untuk mendatangkan kerajaan Allah yang sebenarnya.
Dewey berpendapat bahwa penyataan bukanlah berasal dari Tuhan, tetapi penemuan yang dilakukan manusia melalui hubungan sosial dalam masyarakat yang demokratis. Dalam masyarakat yang demokratis, masyarakat tidak terikat pada dogma yang berasal dari masa lampau, karena masyarakat berhak untuk mencari sarana dalam memecahkan masalah yang muncul pada saat ini. Kebebasan yang dimiliki manusia memacu perkembangan sains modern yang keberadaannya merupakan kesatuan yang lebih tinggi dari peran gereja di masa lampau. Kebenaran supernatural tidak dapat diakui karena itu adalah masalah adikodrati yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara obyektif. Dewey juga berpendapat bahwa kesalahan yang dilakukan oleh manusia bukanlah dosa yang harus diampuni, karena kesalahannya adalah ketidaksesuian pelajaran dalam metode dengan akal. Sebenarnya yang diperlukan manusia adalah perubahan yang diterapkan kembali dan diperbaiki ulang agar ia menjadi benar.
Dengan berpandangan demikian, bagi Dewey, tidak ada kebenaran dan nilai keagamaan serta kaidah moral dan etika yang tetap dan mutlak. Semuanya relatif dan selalu berubah seperti perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebudayaan, masyarakat, dan lingkungan. Pengujian kualitas nilai dan kebenaran dilaksanakan dengan cara yang sama seperti yang digunakan untuk menguji kebenaran pengetahuan dengan metode empiris berdasarkan berbagai pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Nilai bukanlah hal yang bersifat supernatural, universal, dan agamawi. Nilai adalah suatu yang disetujui melalui diskusi terbuka berdasarkan pada bukti-bukti empris dan obyektif, bukan dipaksakan dengan suatu kekuatan untuk diterima.
Nilai dan kebenaran keagamaan bukanlah suatu yang diwahyukan, tetapi muncul dari keinginan, dorongan, perasaan, dan kebiasaan manusia sesuai dengan wataknya sebagai perpaduan antara faktor biologis dan sosial yang ada dalam diri dan kepribadiannya. Dengan demikian, nilai dan kebenaran bukanlah suatu yang dinyatakan dan tetap berlaku selama-lamanya, tetapi suatu proses yang dilakukan manusia untuk menghasilkannya, dan karena itu, agama haruslah bersifat demokrasi dan terbuka terhadap kemungkinan- kemungkinan untuk memperoleh nilai dan kebenaran yang baru.

Konsep tentang Pendidikan
Arti Pendidikan
Menurut Dewey, pendidikan adalah upaya menolong manusia agar dapat berefleksi terhadap masalah yang timbul dalam masyarakat dan upaya memperlengkapi mereka agar menghasilkan perubahan yang nyata dalam kehidupan mereka. Jika dalam proses pendidikan tidak ada pengaruh yang positif terhadap alam dan masyarakat, maka janganlah disebut pendidikan, karena pendidikan harus memberikan pengaruh perubahan dan pertumbuhan.
Sifat sosial adalah yang penting dari pendidikan itu. Untuk itu, peran masyarakat yang demokratis adalah bagian integral dalam mengembangkan sumber daya manusia, karena setiap warga adalah pribadi yang berharga, bukanlah sebagai alat untuk melayani maksud negara atau sarana untuk mencapai tujuan dari pihak yang berkuasa. Dengan cara ini, pendidikan berorietasi pada mempersiapkan lingkungan belajar yang memacu pengalaman untuk bertumbuh.
Rumusan Dewey tentang pendidikan adalah “… pembentukan kembali atau pengorganisasian ulang pengalaman yang menambah maknanya dan yang menambah kemampuan si pelajar dalam memberi arah terhadap pengalaman yang selajutnya.” Dan untuk mencapai maksud tersebut, guru memiliki peranan penting untuk membimbing pelajar memperluas pengetahuan dan kemampuan berpikirnya dalam menjelajah hubungan baru yang dibangunnya di atas pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Dalam hal ini, Dewey menekankan bahwa setiap orang belajar dari pengalamaannya yang berasal dari aktivitas yang asli dari lingkungannya.

Tujuan Pendidikan
Menurut Dewey, tujuan bukanlah berada di luar kehidupan, tetapi berada dalam kehidupan itu sendiri. Untuk itu, pembentukan tujuan pendidikan harus didasarkan pada lingkungan masyarakat di mana anak didik hidup dan tempat di mana pendidikan berlangsung. Tujuan yang ditetapkan haruslah khusus, tidak berlaku secara universal, dan temporer, karena tidak ada kebenaran dan nilai yang mutlak dan berlaku secara universal. Tujuan pendidikan adalah sebagai instrumen untuk bertindak, yang hasilnya akan menjadi instrument untuk pencapaian tujuan berikutnya dan dijadikan sebagai alat untuk bertumbuh.
John Dewey memiliki dua tujuan penting yang harus diperhatikan dalam menjalankan pendidikan. Pertama, upaya untuk membedakan hasil-hasil (results) dan tahap akhir (end). Tahap akhir adalah hasil dari langkah-langkah yang berkesinambungan dan teratur yang diambil secara cerdas, bukan dari kegiatan yang dilaksanakan pada tahap awal. Kedua, terdapat tiga langkah untuk mencapai tujuan dalam pendidikan, yaitu: 1) mengidentifikasi faktor-faktor penghalang bagi para pelajar yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan, dan bersamaan dengan itu, harus diperhatikan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang dimaksud; 2) merumuskan urutan pemanfaatan sarana yang ada; 3) mempertimbangkan kegunaan dari semua sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang dimaksud.

Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan adalah masyarakat dan masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang demokratis, karena setiap kesempatan untuk bekerja terdapat di dalamnya. Dengan demokrasi yang ada, maka tidak terdapat klasifikasi penjenjangan sosial dalam masyarakat. Setiap orang berkesampatan untuk mengambil bagian dan beraktifitas di dalamnya serta menggunakan intelegensinya secara maksimal, agar pertumbuhan setiap individu pun dapat terjadi secara maksimal.
Sekolah adalah laboratorium bagi anak didik untuk belajar hidup bermasyarakat secara demokratis, sedangkan guru adalah peserta yang turut membimbing dalam proses belajar mengajar, dan bukan sebagai seorang yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan segala sesuatu. Anak didik dan guru harus bebas menentukan dan menatakan perabot kelas dalam ruangannya, dan melalui sekolah, anak akan belajar berdisiplin untuk bertumbuh dalam kehidupan bersama dengan orang lain dari pengalamannya sendiri, bukan aturan dari luar yang diberikan kepada diri anak.

Proses Pendidikan
Menurut Dewey, kurikulum (pokok yang dipelajari) berupa metodologi (proses yang terlibat di dalamnya) dan metodologi mencakup kurikulum, yang mana keduanya menyatu. Kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang teruji yang dapat diubah dan dapat dibentuk berdasarkan minat dan kebutuhan siswa, dan metodenya adalah learning by doing yang terfokus pada keaktifan siswa. Keberadaan siswa adalah sekelompok orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk bertumbuh, sedangkan guru adalah orang yang berperan untuk mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhan siswa.

III. Sumbangsih John Dewey dalam Dunia Pendidikan
Pada masa kecil dan mudanya, Dewey melihat bahwa pendidikan hanya diberikan kepada anak-anak laki-laki dan dari keluarga yang tergolong kaya secara ekonomi. Dalam proses pembelajaran, anak-anak yang belajar, hanya duduk diam di kelas dan hanya mendengar pelajaran secara pasif dan sopan. Dengan cara demikian, anak hanya menerima pelajaran secara akademik saja dan tidak diajar untuk berpikir dan beradaptasi dengan dunia di luar sekolah. Karena keadaan demikian, lahirlah ide-ide penting dari dirinya: pertama, anak-anak adalah pembelajar aktif (active learner), mereka akan dipacu untuk belajar lebih baik jika mereka aktif dalam proses belajar mengajar; kedua, pendidikan seharusnya difokuskan kepada seluruh aspek kepribadian anak dan memperkuat kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia berada, sehingga ia mampu memecahkan masalah yang dialaminya secara reflektif; ketiga, semua anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, dari semua lapisan sosial-ekonomi serta semua etnis, memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang layak.
Dalam dunia pendidikan saat ini, konsep pemikiran tentang John Dewey masih memiliki pengaruh yang besar. Konsep Active-learner adalah konsep yang dimunculkan oleh Dewey yang menunjukkan bahwa setiap anak didik memiliki kemampuan untuk bertumbuh dengan memberdayakan seluruh potensi yang mereka mereka miliki melalui pendidikan yang mereka dijalani.
Di Indonesia, konsep active-learner dikenal dengan pendidikan partisipatif, yang menekankan keterlibatan aktif peserta didik dalam proses pendidikan. Dengan pola ini, siswa dipacu untuk terlibat secara aktif untuk dapat mengembangkan seluruh sumber daya yang dimiliknya. Siswa tidak hanya diam, mendengar, dan mencontoh guru, sedangkan guru haruslah menjadi fasilitator dan memotivasi siswa untuk berdialog dan berekspresi.

IV. Kritik terhadap Konsep Pemikiran John Dewey
Dengan mencermati kepada konsep pemikiran Dewey tentang pragmatisme dan relativisme yang bersumber pada pengalaman dan penggunaan metode, maka berdasarkan perspektif Kristen, konsep John Dewey dapat dikritisi sebagai berikut:

Konsep yang Mengabaikan Allah
Berdasarkan pengalaman pada masa kecilnya dalam keluarga, pendidikan formal yang dijalaninya, pengalamannya sebagai pengajar, dan pengamatannya terhadap laboratorium sekolah, Dewey berkesimpulan, “… keselamatan di dunia ini akan semakin tercapai melalui pendidikan dan tidak lagi melalui campur tangan ilahi dari dunia yang ada di seberang sana.” Ini menunjukkan bahwa Dewey tidak mengakui keberadaan Allah, dan baginya, keselamatan adalah hasil dari upaya manusia melalui pendidikan.
Dalam kekristenan, Allah adalah Pencipta yang memiliki hidup dan yang memberikan hidup kepada manusia (Kej. 1:1, 26-28; 2:7, 21-22). Perwujudannya dinyatakan di dalam anak-Nya, yaitu Yesus Kristus yang adalah Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yoh. 14:6) dan di luar Yesus tidak ada jalan lain, yang olehnya manusia memperoleh keselamatan, kebenaran, dan kehidupan.
Manusia pada hakikatnya berada dalam keadaan dosa, tidak memiliki kepastian hidup, dan kehidupannya menuju kepada kematian kekal. Dalam keadaan yang demikian manusia tidak mungkin dapat menyelamatkan dirinya (Roma 3:23). Untuk itu, ia memerlukan anugerah dari Allah di dalam Yesus Kristus untuk menyelamatkannya (Yoh. 3:16; I Yoh. 5:11-12). Upaya-upaya yang dilakukan manusia untuk memperoleh keselamatan, termasuk di dalamnya pendidikanya, tidak akan dapat merubah status yang berdosa menjadi orang yang diselamatkan, karena pendidikan hanya dapat membuat orang menjadi cerdas secara intelek, tetapi buta dan mati secara rohani, dan kebutaan rohani dapat menyebabkan kebutaan terhadap keselamatan.
Pendidikan dapat membentuk manusia secara intelek, tetapi pendidikan bukan menjadi juruselamat bagi manusia. Dalam kekristenan, pendidikan adalah wadah untuk mengabarkan kehidupan dan keselamatan di dalam Yesus Kristus dan menolong peserta dirik untuk bertumbuh di dalam iman. Dan pendidikan juga menjadi wadah di mana peserta didik ditolong untuk dapat mengenal seluruh potensi dirinya dan memberdayakannya demi kepentingan hidupnya dan untuk menolong orang lain (Mat. 25:14-30).

Konsep yang Mengabaikan Firman Allah
Bagi Dewey, kebenaran berasal dari upaya manusia yang relatif, bersifat tidak tetap dan selalu berubah-ubah. Tidak ada norma dan kaidah yang tetap. Benar atau tidaknya suatu yang dianggap benar bergantung pada bermanfaat atau tidaknya bagi kehidupan manusia, dan ukuran untuk segala sesuatu yang dilakukan atau terjadi bergantung pada prakteknya. Perubahan dan pertumbuhan dapat dialami oleh seseorang melalui pengalaman hidup dan metode eksperiman, karena kedua hal tersebut yang akan menentukan kebenaran bagi manusia. Dewey menganggap bahwa perkembangan intelektual yang dialami seseorang melalui proses pendidikan dan berbagai pengalaman yang dialaminya akan menentukan kebenaran yang dimilikinya.
Dalam kekristenan, kebenaran pada mulanya menyatakan pribadi Allah, yaitu Firman yang menjadi Manusia, yang nama-Nya adalah Yesus Kristus (Yoh. 1:1-4, 14; 14:6). Yesuslah yang membenarkan dan menyelamatkan manusia.
Kebenaran juga menyatakan penyataan Allah, yaitu firman yang tertulis, yang disebut Alkitab. Pengenalan kepada firman yang tertulis akan menuntun kepada pengenalan akan Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Kebenaran firman Allah (Alkitab) adalah mutlak, memiliki nilai kekal, dan diperlukan oleh setiap manusia. Dengan dibenarkan dan diselamatkan oleh Allah dan hidup sesuai dengan firman -Nya, maka manusia dumingkinkan untuk memiliki pegangan hidup yang kuat dan menjalani hidupnya tanpa bimbang dan ragu.
Pendidikan adalah wadah di mana peserta didik belajar tentang kebenaran firman yang tertulis yang akan menuntunnya untuk mengenal Yesus yang menyelamatkan dan membenarkannya. Dengan menghidupi firman-Nya, maka peserta didik akan dibenarkan, dimerdekakan dari kuasa dosa, dan dimampukan untuk melakukan kebenaran (Yoh. 8:30-36).
Dalam kehidupan sehari-hari, proses pembentukan yang membawa seseorang mengalami perubahan dan pertumbuhan adalah proses internalisasi kebenaran firman Tuhan yang dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam diri setiap manusia. Roh Kudus adalah Roh kebenaran yang menyertai umat Allah dan diam di dalam mereka (Yoh. 14:17). Roh Kudus bekerja secara internal di dalam hati manusia untuk mengingatkan dan mengajarkan semua kebenaran agar manusia dapat hidup di jalan yang benar (Yoh. 14:26; 16:8-11), sehingga di dalam hidupnya akan menghasilkan buah Roh, yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Gal. 5:22-23).

Konsep yang Mengabaikan Kehidupan Kekal
Dewey berpendapat bahwa hidup tidak memiliki tujuan akhir, tetapi hanya tujuan antara dan sementara. Selain itu, Dewey juga mengatakan bahwa kerajaan Allah adalah “… kosong sebagai kenyataan adikodrati di dunia ini namum masih berfaedah sebagai simbol tentang hubungan antar-pribadi yang paling tinggi yang dikembangkan melalui pendidikan.” Berdasarkan kedua hal tersebut menunjukkan bahwa Dewey tidak mengakui hal-hal supernatural yang berhubungan dengan kekekalan, secara khusus kehidupan kekal dan sorga (Yoh. 3:16; Mat. 6:9).
Jika manusia hidup dengan cara demikian, maka ia tidak memiliki kepastian tentang akhir hidupnya dan ia akan menjalani hidupnya dengan berbagai keraguan dan ketakutan. Ia pun menjalani hidupnya tanpa satu tanggung jawab rohani yang menjadi dasar hidupnya untuk bertemu dengan Pencipta dan Juruselamatnya. Sebenarnya manusia memerlukan kepastian tentang tujuan akhir hidupnya agar selama ia hidup, cara hidupnya akan berorientasi kepada yang diimani untuk akhir hidupnya.
Bagi Dewey, kerajaan Allah adalah suatu kedaan baik yang dialami manusia dalam masyarakat yang demokratis, hak individu menjadi prioritas, tanpa masalah, dan di dalamnya manusia dapat mengekspresikan dirinya, yang semuanya dapat diwujudkan melalui pendidikan.
Sebenarnya, kerajaan Allah bukan suatu keadaan adikodrati yang dibentuk melalui pendidikan, tetapi tempat atau wilayah kekuasaan yang dimiliki Allah yang keberadaannya adalah sesuai dengan keberadaan Allah yang kekal. Allah sendiri yang memilikinya untuk menempatkan umat-Nya hidup di dalamnya. Kerajaan tersebut bukan dibentuk oleh manusia dan proses pembentukannya bukan melalui proses pendidikan.
Dalam pelayanan-Nya di bumi, inti pemberitaan yang disampaikan Yesus adalah Kerajaan Allah, yang menyatakan bahwa Yesus sendiri memerintah sebagai Raja dan kekuasaan-Nya berdaulat secara mutlak di dalam kerajaan-Nya (wilayah kekuasaan-Nya). Umat-Nya yang percaya kepada-Nya akan hidup bersama-Nya di dalam kerajaan-Nya dan mereka akan mengalami damai sejahtera, sukacita, dan kebahagiaan. Ini bukan karena diusahakan oleh manusia melalui proses pendidikan, tetapi karena dianugerahkan oleh Allah di dalam Yesus Kristus. Inilah tempat yang pada akhirnya orang-orang percaya akan hidup di dalamnya sebagai akhir dari tujuan hidupnya.
Keadaan fisik dari kerajaan ini akan dinyatakan kelak ketika Yesus datang menjemput umat-Nya untuk hidup bersama-sama dengan-Nya dalam kekekalan, tetapi pengakuan mereka tentang Yesus adalah Raja dimulai saat mereka mempercayai-Nya. Sebagai Raja, Yesus adalah Allah yang memerintah, mengatur, dan berkuasa dalam kehidupan umat-Nya. Tanggung jawab umat-Nya adalah menyerahkan hidup mereka sepenuhnya kepada-Nya dan hidup dalam ketaatan terhadap firman-Nya agar harta dari kerajaan tersebut, seperti penebusan, pendamaian, penyucian, pembenaran, kebahagiaan, sukacita, dan damai sejahtera dialami oleh umat-Nya. Pengalaman inilah yang memacu orang-orang percaya untuk tetap memandang kepada Juruselamat mereka yang menuntun mereka, tidak hanya untuk hidup di bumi ini, tetapi juga ke tempat di mana Ia berada, yaitu Kerajaan-Nya yang kekal, untuk hidup bersama-sama dengan Dia yang adalah Raja dari kerajaan-Nya.

Konsep yang Mengabaikan Tubuh Kristus
Dewey sebenarnya berlatar belakang agama Kristen, namun ia tidak mengakui pokok-pokok kepercayaan Kristen. Dewey mengakui sifat sosial dalam pendidikan, tetapi ia lebih menekankan masyarakat yang demokratis dari pada komunitas Kristen yang adalah tubuh Kristus. Menurut Dewey, pelayanan gereja tidak diperlukan, tetapi masyarakat yang demokratis yang di dalamnya jati diri seseorang dapat direalisasikan. Sifat sosial yang ditekankan Dewey adalah upaya dalam mempersiapkan dan membangun lingkungan belajar, bukan perbuatan kasih yang dinyatakan kepada orang lain berdasarkan kasih yang telah dinyatakan Allah di dalam Kristus kepada manusia. Dewey sangat menghormati hak pribadi seseorang sebagai prioritas tertinggi melebihi yang lain, tetapi pada sisi lain, lebih menekankan kebebasan diri dalam berekspresi dari pada kebersamaan dan kepedulian terhadap orang lain. Dewey juga berpendapat bahwa proses belajar di sekolah akan menolong anak belajar berdisiplin untuk bertumbuh dalam kehidupan bersama dengan orang lain. Pertumbuhan yang dimaksud, terjadi bukan karena pengenalan akan firman Tuhan melalui proses belajar mengajar dan konsistensi anak dalam melaksanakan firman Tuhan, tetapi berasal dari pengalamannya sendiri bersama orang lain melalui sekolah.
Dalam konsep kekristenan, tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang benar secara rohani di muka bumi ini yang diakui oleh Allah selain gereja adalah tubuh Kristus, karena di dalamnya terdapat orang-orang pilihan Allah yang telah bertobat dari kehidupan lama dan menerima Yesus sebagai Juruselamat mereka. Mereka dihimpun sebagai satu umat yang menyembah Pencipta dan Juruselamatnya secara berjemaat.
Di dalam tubuh Kristus, setiap anggota dilengkapi dengan pengajaran firman Allah dan memiliki kesempatan untuk memberdayakan potensinya sesuai dengan karunianya untuk melayani kebutuhan anggota yang lain (I Kor. 12:12-31). Dengan perkataan lain, setiap orang tidak hanya mengurus kepentingannya sendiri, tetapi bertanggung jawab terhadap seluruh anggota, dan sebaliknya, seluruh anggota bertanggung jawab terhadap setiap anggota dalam melakukan pekerjaan yang baik (Ef. 2:10; Ibr. 10:24).
Kesatuan, kehidupan, dan pelayanan di antara anggota dapat terjadi karena hanya satu Tuhan yang disembah, yaitu Yesus, dan hanya satu Roh yang diam di dalam setiap anggota (I Kor. 12:4-6). Roh-lah yang mengerjakan kesatuan di antara semua anggota dan memperlengkapi mereka dengan karunia-karunia agar mereka dapat bersatu dan saling melayani. Dengan bersatu dan saling melayani dan melengkapi satu dengan yang lain maka mereka semua akan mengalami pertumbuhan secara bersama.
Selain itu, dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, walaupun setiap orang Kristen adalah anggota tubuh Kristus, tetapi keberadaannya di bumi adalah sebagai anggota warga negara. Haknya menjadi prioritas dalam hidupnya secara bernegara, tetapi ia harus menghormati aturan-aturan yang berlaku di dalam Negara sebagai kewajibannya untuk mendapatkan haknya. Untuk itu, orang Kristen dinasehati bahwa mereka harus taat kepada Negara dan mendoakan bangsanya serta para pemimpinnya karena mereka adalah hamba Allah bagi kebaikan umat-Nya (Roma 13:1-7; I Tim. 2:1-4), dan jika bangsanya diberkati, maka mereka pun akan diberkati.

V. Kesimpulan
John Dewey adalah orang yang berpengaruh dalam sejarah pendidikan dunia. Konsepnya tentang pendidikan masih dipakai hingga saat ini. Walaupun dalam konsep Kristen, ada penolakan terhadap kebenaran yang tidak kekal dan berubah-ubah, dan juga menolak pendidikan yang seolah-olah menjadi juruselamat bagi manusia, sehingga ia dapat dianggap sebagai orang yang tidak mengenal Allah dan firman Allah, tetapi konsep active-learner sangat mempengaruhi dunia pendidikan saat ini.
Untuk itu, dalam dunia Pendidikan Kristen, para pendidik harus menghormati hak para peserta didik, menerima kepribadian mereka sebagaimana adanya mereka, dan menghargai apapun latar belakang sosial mereka. Para pendidik tidak hanya memberikan atau mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga harus memotivasi dan memfasilitasi peserta didik untuk menemukan dan mengembangkan segala kecerdasannya melalui partisipasi aktif siswa dalam proses belajar mengajar. Selain itu, dalam proses belajar mengajar yang dilaksanakan di kelas dan di luar kelas, pengajaran-pengajaran Kristen tentang Allah, sorga dan kehidupan kekal, Yesus adalah Jurulsemat, firman Allah adalah kebenaran yang mutlak tidak bersalah dan tidak keliru, Roh Kudus adalah Allah yang menyertai dan memimpin umat Allah kepada kebenaran, gereja adalah tubuh Kristus, dan menghormati Negara dan pemerintah, haruslah mendapat penekanan penting dalam pengajaran-pengajaran yang diberikan kepada para peserta didik.
Dalam dunia pendidikan teologi, prinsip active-learner juga seharusnya dipraktekkan oleh para pendidik, agar tidak terkesan bahwa pendidikan teologi identik dengan pengindoktrinasian. Dalam mempelajari doktrin, peserta didik perlu ditolong untuk terlibat secara aktif dalam menemukan pengajaran-pengajaran yang benar yang difasilitasi oleh pendidik. Ini dimaksudkan agar peserta didik memahami secara benar kebenaran yang diimaninya, menghidupinya, dan ia sendiri pun dapat mempertanggungjawabkannya apa yang diketahui dan dipercayainya kepada orang lain secara benar.
Baca Selengkapnya

Pendidikan Anti Kekerasan: Perspektif Teologis-Padeigogi


Kekerasan dalam Alkitab

Harus diakui bahwa di dalam Alkitab terdapat informasi tentang kekerasan seperti pembunuhan, peperangan, dan martir, permusuhan/pembalasan dendam, pemerkosaan, perkataan kasar, dan ketidakadilan sosial. Namun, Alkitab juga menginformasikan tentang penentangan terhadap kekerasan yang terjadi di antara manusia. Perama, TUHAN memusnahkan manusia yang ada di bumi dengan air bah karena kehidupan mereka penuh dengan kekerasan (Kej. 6:11-13).
Kedua, hukum ke 6 dari sepuluh hukum, ditegaskan bahwa Allah melarang keras tindakan pembunuhan dalam bentuk apapun yang terjadi di antara manusia (menghilangkan nyawa manusia dan pembunuhan serta perusakan fisik dan karakter seseorang). Ketiga, dalam ayat-ayat yang lain disebutkan bahwa Tuhan murka terhadap orang-orang yang mencintai segala bentuk kekerasan (II Sam. 22:3, 49; Mzr. 11:5; 72:14; 140:12). Ia akan mengacaukan dan membingunkan mereka (Mzr. 55:9), dan hidup mereka akan diburu malapetaka (Mzr. 140:12), bahkan Allah akan menjadi Hakim untuk menimpakan kekerasan kepada orang yang melakukan kekerasan (Mzr. 7:17).

Kekerasan dalam bentuk apapun (kekerasan fisik, emosi, seksual, dan sosial-neglected) adalah tindakan penentangan terhadap keberadaan manusia sebagai “gambar dan rupa Allah” (Kej. 1:26-27). Jika kekerasan terjadi pada seseorang yang mengakibatkan kerusakan/gangguan fisik dan psikisnya, maka martabatnya sebagai gambar dan rupa Allah dirusakkan. Orangtua atau guru yang melakukan kekerasan terhadap anak adalah orangtua/guru yang tidak menghargai dirinya dan anaknya sebagai ciptaan Allah yang mulia (segambar dan serupa dengan Allah).


Dalam Perjanjian Baru, Yesus tidak hanya menekankan bahwa seseorang yang melakukan kekerasan (pembunuhan) adalah dosa, tetapi Yesus juga menyalahkan orang yang menyimpan amarah, rasa benci, atau dendamnya dalam hati. Ini berarti bahwa kekerasan bukan hanya terbatas pada perbuatan, tetapi juga sikap hati. Mat. 5:21-22, “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.”

Yesus juga memberi perintah agung kepada umat-Nya: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. Mat. 22:39). “Sesama manusia” yang dimaksud dalam ayat ini adalah semua unsur yang terlibat dalam pendidikan, yaitu guru, orangtua, anak didik, dan masyarakat. Jika seseorang melakukan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap orang lain, maka kemungkinan orang tersebut tidak memiliki rasa penghormatan terhadap diri sendiri. Harkat dan martabat anak sering direndahkan karena orang dewasa menganggap bahwa sesama manusia adalah sesama orang dewasa.


Pendidikan Tanpa Kekerasan Berdasarkan Alkitab

Perjanjian Lama

Hukum ke 5 dari 10 hukum disebutkan, “Hormatilah ayah ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Kel. 20:12). Keberadaan ayah dan ibu merupakan wakil Allah di bumi, sehingga penentuan umur panjang, kebahagiaan, dan keindahan di dalam Tuhan yang dimiliki seorang anak bergantung pada penghormatan dan ketaatan anak-anak terhadap orangtuanya. Pada sisi lain, anak akan memahami keberadaan Allah di dalam kehidupan mereka melalui pengajaran dan perlakuan orangtua di rumah dan guru di sekolah. Jika orangtuanya atau gurunya kasar, maka anak akan berpikir, mungkin Tuhan Allah yang diajarkan oleh orangtua dan guru adalah juga kasar seperti yang ia rasakan dari orangtuanya atau gurunya.

Dalam Perjanjian Lama, wadah pendidikan bagi anak di kalangan orang Yahudi adalah keluarga, pengajarnya adalah orangtua, dan isi pengajarannya adalah kekayaan iman orang Yahudi. Ul. 6: 4-9, Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.”
1. Orangtua dan guru yang mengasihi Allah harus menunjukkan kasih kepada anak-anak sebagai cara untuk mengajar anak mengasihi Allah.
2. Pendidikan dilaksanakan bukan hanya pada satu sudut kehidupan dan bukan hanya sambilan saja, tetapi menjadi bagian inti dari kegiatan sehari-hari.
3. Pengenalan akan Allah dan pembentukan karakter yang dialami anak-anak dimulai dari keluarga dengan cara menyampaikan kepada anak-anak pengalaman orangtua bersama Tuhan. Lembaga-lembaga lain dan pendidik-pendidik yang lain hanyalah pendukung untuk melengkapi apa yang tidak diperoleh anak dari keluarga.

Dalam dunia pendidikan, orang bijak menyebutkan, “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya” (Amsal 29:15; bdg. Amsal 22:15; 23:13-14). Dalam budaya tertentu, penggunaan rotan dalam mendidik dan mendisiplin anak bukanlah hal yang menjadi masalah, tetapi “tongkat” yang dimaksud di sini adalah:
1. Tindakan yang tegas yang dilakukan orangtua terhadap anak untuk menyelamatkan anak dari resiko yang buruk, kematian, dan perbuatan yang memalukan dirinya serta orangtuanya.
2. Disiplin untuk membebaskan anak dari kebodohan, menjaganya dari perlakuan yang merusak diri, menanamkan hikmat, dan menumbuhkan relasi yang baik dan damai dalam keluarga.
3. Kebodohan adalah dosa, sehingga diperlukan pengoreksian yang diberikan kepada anak untuk menolong mereka keluar dari kebodohan.
4. Jika orangtua melakukan tindakan ini, maka harus didasarkan pada kasih kepada anak.

Perjanjian Baru

Perhatian Yesus
Yesus bukan hanya Juruselamat, tetapi Ia juga seorang Guru, karena beberapa kali Ia dipanggil Rabi (Mark. 12:13-14), dan selama hidup-Nya, Ia selalu memberikan pengajaran kepada para murid-Nya dan para pengikut-Nya (Mat. 9:35; 11:1).
Dalam pelayanan yang dilaksanakan oleh Yesus, Yesus juga memberikan perhatian kepada kepada pendidikan anak. Pertama, identifikasi Yesus bersama anak-anak (Mark. 9:36-37). Yesus memihak kepada anak-anak sehingga Ia berkata bahwa orang yang memperhatikan anak-anak sebenarnya mengindahkan Yesus. Kedua, Yesus marah kepada murid-murid yang melarang orangtua yang membawa anak-anaknya kepada Yesus (Mark. 10:13-14), bahkan Yesus memperingati dengan keras bahwa orang-orang yang menyebabkan anak-anak berdosa dan sesat (termasuk di dalamnya anak-anak gagal mempercayai Allah karena memberikan sikap dan ajaran yang salah terhadap anak) sebaiknya orang tersebut mati dari pada hidup. Pengalaman trauma, kecelakaan, dan kekerasan terhadap anak yang terjadi kapan saja ketika anak masih kecil dapat menyebabkan anak takut dan tidak percaya kepada Pencipta dan Juruselamatnya (Mark. 9:42).

Pengajaran Rasul Paulus
Dalam Kolose 3:21, Paulus menulis, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Ef. 6:4, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Ini menunjukkan bahwa dalam Perjanjian Baru,
1. Keluarga menjadi pusat pendidikan bagi anak, dan kelihatannya, tanggung jawab pendidikan terhadap anak difokuskan kepada orangtua.
2. Allah telah memberikan kekuasaan kepada orangtua dan guru untuk mendidik anak, tetapi jangan salah menggunakannya, karena anak adalah bagian dari pribadi orangtua dan guru yang harus dituntun dengan kasih dan kesabaran.
3. Segala bentuk didikan yang akan membangkitkan amarah dan kekecewaan anak adalah salah. Jangan tidak sabar terhadap anak-anak, jangan menggunakan kekerasan-kekerasan yang tidak beralasan, dan jangan menggunakan peraturan-peraturan yang kaku terhadap anak yang membuat anak tersiksa.
4. Orangtua dan guru tidak menunjukkan sifat pilih kasih terhadap anak-anak.
5. Kewajiban orangtua dan guru tidak hanya membesarkan mereka dengan cara menyiapkan makanan dan minuman bagi mereka, tetapi juga membentuk karakter anak. Orangtua tidak hanya membesarkan mereka menjadi orang dewasa dan guru tidak hanya mendidik anak menjadi orang yang intelektualistis, tetapi juga membentuk dengan ajaran dan nasehat Tuhan agar anak memiliki kepribadian yang baik.
6. Jangan menggunakan kekuasaan sebagai orangtua dan guru untuk menunjukkan kekuatan dan kekerasan kepada anak.
7. Emosi yang tidak terkontrol dan ketidakhati-hatian orangtua dan guru sering menjadi halangan bagi anak-anak dan menjadi tembok pemisah bagi anak-anak untuk berkomunikasi.


Implementasi Masa Kini:
Pendidikan yang Memberdayakan dan Membebaskan

Pendidikan adalah pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh pendidik dan orangtua untuk menemukan dan memberdayakan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Untuk itu, upaya-upaya yang perlu dilaksanakan adalah:
1. Pemulihan para pendidik (orangtua dan guru). Hal ini diperlukan karena orangtua atau guru yang melakukan kekerasan terhadap anak, kemungkinan besar ia pun mengalami kekerasan pada masa kanak-kanaknya.
2. Jangan mendisiplinkan didik pada saat sedang marah, sibuk, stress, tegang, atau bermasalah dengan hal-hal yang lain, karena dapat berakibat fatal bagi anak.
3. Orangtua dan guru harus menyadari bahwa mereka dipanggil oleh untuk melayani melalui perhatian, pengajaran dan keteladanan yang diberikan kepada anak.
4. Kerja sama dengan organisasi-organisasi non-gereja untuk membekali guru dan orangtua agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.
5. Penginjilan dan pembimbingan rohani yang dilaksanakan oleh sekolah kepada murid dan guru.
6. Pelaksanaan peraturan.
a. Peraturan yang dimiliki oleh sekolah harus dijelaskan kepada orangtua dan siswa ketika siswa baru memasuki sekolah.
b. Disiplin dilaksanakan secara konsisten berdasarkan keteladanan dan peraturan yang jelas.
c. Sanksi diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran, tingkat perkembangan anak secara psikologis, daya tahan fisik anak, kesanggupan anak untuk menerimanya, dan tujuan dari pemberian sanksi.
d. Memperhatikan penampilan/cara berpakaian dan model pakaian yang digunaka sebagai seragam.
7. Proses belajar mengajar (Assegaf 2004, 101-104).
a. Menumbuhkan niat belajar anak dengan cara memotivasi dan memberikan semangat kepada anak.
b. Menjalin rasa simpati/empati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian social, toleransi, dan saling menghargai antara guru dan murid serta antara murid dengan murid.
c. Menciptakan suasana riang, tanpa ada tekanan.
d. Memberikan motivasi untuk bangkit apabila anak mengalami kegagalan.
e. Mengembangkan rasa saling memiliki untuk membentuk kebersamaan, kesatuan, kesepakatan, dan dukungan belajar.
f. Menujukkan teladan yang baik.


Kepustakaan

Assegaf, Abd.Rahman. Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep.
Yogyakarta: Tirta Wacana Yogya, 2004.
Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen dari
Plato sampai Ig. Loyola. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Collins, Gary R. Christian Counseling: A Comprehensive Guide. Dallas: Word Publishing, 1988.
Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Nuansa, 2006.
Lester, Andrew D. Pelayanan Pastoral bersama Anak-Anak dalam Krisis. Malang: SAAT, 2003.
Matthew Henry’s Commentary of the Whole Bible, volume 6: Acts to Revelation. Peabody,
Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1991.
McDowell, Josh & Bob Hosteller. Josh McDowell’s Handbook On Counseling Youth: A
Comprehensive Guide for Equipping Youth Workers, Pastors, Teachers, Parents. Dallas: Word Publishing, 1996.
Parrott III, Les. Helping Struggling Adolescent. Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing
House, 1993.
REC FOCUS, “Commission On Human Relation: Sexual Abuse.” Grand Rapids: Reformed
Ecumenical Council, February 2004, Volume 4, Number 1.
Baca Selengkapnya

Perumpamaan Orang Bugis Yang Baik Hati


Perumpamaan Orang Bugis Yang Baik Hati
Luk. 10:30-35
(Pdt. Peniel Maiaweng)

(30) “Pada suatu malam sekitar pukul 20.00 (jam 10.00 malam), ada seorang laki-laki dewasa etnis Cina yang berasal dari Makassar, mengendarai sepeda motor dalam perjalanan dari Malino menuju Makassar. Ketika sampai di tikungan .. … yang sepi, ada sekolompok preman yang bermobil menghadangnya dan memukulnya hingga nyaris mati. Mereka merampas uang dan barang bawaannya, sesudah itu para preman lari meninggalkannya dengan menggunakan mobil mereka.

(31) Sejam kemudian, ada seorang pendeta yang baru saja menyelesaikan pelayanannya di Malino kembali ke Makassar dengan menggunakan mobil pribadinya. Pada saat melewati tempat kejadian tersebut, ia sempat melihat seseorang sedang terkapar tanpa kekuatan dan dalam keadaan terluka, tetapi ia tidak peduli. Ia menancap gas mobilnya dan berjalan lebih cepat.

(32) Beberapa menit setelah pendeta itu melewati tempat kejadian tersebut, lewatlah seorang majelis gereja dalam perjalanan kembali dari Malino ke Makassar dengan mengendarai motor Jupiter MX. Pada saat melewati tempat kejadian tersebut, ia melihat seseorang yang sedang terkapar dan dalam keadaan terluka. Ia sempat berhenti sebentar, sambil mengarahkan pandangan ke arah orang yang terluka tersebut, namun ia tidak memberikan pertolongan dan melanjutkan perjalanannya.

(33) Kira-kira pukul 24.00, lewatlah seorang bapak, etnis Bugis dari Sinjai dengan mengendarai mobil sedan. Bapak tersebut beragama Islam dan ia adalah seorang anggota Panji Jihat yang berdomisili di Makassar. Ia baru saja mengunjungi keluarganya di Malino. Pada saat ia melewati tempat kejadian itu, ia melihat seseorang yang sedang terkapar dalam keadaan luka parah, ia berhenti sebentar lalu menengok orang tersebut. Ketika itu, ia merasa sangat kasihan lalu ia bertindak untuk menolong.

(34) Tanpa bertanya dari mana asalnya, tanpa memikirkan kerugiannya, dan tanpa memikirkan resiko yang akan dialaminya. Ia turun dari mobilnya, membersihkan debu serta kotoran yang ada pada bagian terluka orang itu dan memberikan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) saat itu juga. Kemudian ia menaikan orang itu ke dalam mobilnya lalu membawanya ke Rumah Sakit Stelamaris di Makassar. Ketika tiba di Rumah Sakit, ia memohon kepada para perawat yang bertugas saat itu agar orang tersebut dirawat.

(35) Keesokan harinya orang Bugis Sinjai tersebut datang ke rumah sakit Stelamaris untuk membayar angsuran pertama dan kedua kepada kasir sebelum perawatan dilaksananakan lebih lanjut. Ia juga mengatakan kepada petugas di bagian perawatan, “Rawatlah orang ini sampai benar-benar sembuh . Saya akan membayar semua biaya perawatannya.” Untuk memberikan jaminan kepada para petugas di bagian perawatan, orang Bugis Sinjai ini memberikan KTP dan kartu namanya, yang berisikan alamat rumah, nomor telepon, dan no.HPnya, dengan maksud bahwa kapan pun ia dapat dihubungi. Setelah itu, orang Bugis Sinjai tersebut kembali ke rumahnya.

(36) Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan preman itu?”
Baca Selengkapnya